Begini Mekanisme Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan Adat

Ketua Bidang Hukum Adat MAA Provinsi Aceh, Drs. Syaiba Ibrahim.

BANDA ACEH - Peradilan Adat merupakan peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. 


Di Aceh, Peradilan Adat dijalankan oleh Pemangku Adat Gampong yang terdiri dari unsur Keuchik imeum meunasah, tuha peut, sekretaris gampong, dan ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di gampong. Hal ini ditegaskan dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.


Berdasarkan Qanun tersebut, ada 18 sengketa/perselisihan Adat dan Adat Istiadat yang bisa diselesaikan oleh pemangku adat atau perangkat desa melalui Peradilan Adat, yaitu: (1) perselisihan dalam rumah tangga; (2) sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh; (3) perselisihan antar warga; (4) khalwat mesum; (5) perselisihan tentang hak milik; (6) pencurian dalam keluarga (pencurian ringan); (7) perselisihan harta sehareukat; (8) pencurian ringan; (9) pencurian ternak peliharaan.


Kemudian (10) pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan; (11) persengketaan di laut; (12) persengketaan di pasar; (13) penganiayaan ringan; (14) pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat); (15) pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik; (16) pencemaran lingkungan (skala ringan); dan (17) ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan (18) perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.


Ketua Bidang Hukum Adat MAA Provinsi Aceh, Drs. Syaiba Ibrahim menjelaskan, Peradilan Adat di Aceh telah memiliki dasar hukum yang cukup kuat, yaitu Undang-Udang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang pemerintahan Aceh, Qanun Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat Dan Adat Istiadat, serta Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat.


Kemudian lanjut Syaiba, turunan dari itu, ada MoU atau keputusan Bersama antara Gubernur Aceh, Kapolda Aceh, dan Ketua MAA Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa / Perselisihan Adat Istiadat, serta lahirnya Pergub Nomor 60 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa / Perselisihan Adat Istiadat. Itu dasar hukum adanya Peradilan Adat di Aceh. 


“Mekanisme Peradilan Adat sebenarnya hampir sama dengan Pengadilan Negara pada umumnya. Kalau di Peradilan Negara itu ada Hakim, Hakim 1, Hakim 2, dan Panitera, maka Peradilan Adat di gampong juga seperti itu. Jadi Hakim Ketua yaitu Keuchik, Paniteranya Sekretaris Desa, Kemudian Hakim Anggotanya Tuha Peut. Tuha Peut ini ada tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, yang duduk sebagai Hakim Anggota. Merekalah yang menyelesaikan sengketa dari 18 perkara ringan itu,” kata Syaiba saat dimintai tanggapan, baru-baru ini.


Syaiba menuturkan, sengketa perkara-perkara tersebut kini tidak lagi diselesaikan di Polisi. Qanun tersebut mengamanatkan bahwa aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di Gampong. 


“Jika di tingkat Gampong tidak selesai, selanjutnya dibawa ke tingkat Mukim.  Penyelesaian secara adat di Mukim dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri imum mukim, imum chik, tuha peut, sekretaris mukim, dan ulama serta tokoh adat lainnya di mukim,” kata Syaiba.


“Sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan dilaksanakan di Meunasah pada tingkat Gampong atau tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik, sementara pada tingkat Mukim sengketa diselesaikan di Mesjid atau tempat lain yang ditunjuk oleh Imum Mukim,” katanya lagi, menambahkan.


Ketua Bidang Hukum Adat MAA Provinsi Aceh itu menguraikan, Peradilan Adat juga punya ketentuannya sediri, dimana sengketa juga diselesaikan secara bertahap. Bagi yang mengangkangi adat maka akan ada konsekuensinya berupa sanksi adat. Dalam hal ini, kata Syaiba, keluarga pelanggar adat ikut bertanggung jawab atas terlaksananya sanksi adat yang dijatuhkan kepada anggota keluarganya.


“Adapun jenis sanksi-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan dalam penyelesaian sengketa adat yaitu: nasehat, teguran, pernyataan maaf, diyat, denda, ganti kerugian, dikucilkan dari masyarakat gampong, dikeluarkan dari masyarakat gampong, pencabutan gelar adat, dan bentuk sanksi lainnya sesuai dengan adat setempat,” demikian pungkas Syaiba. [Adv]

Postingan Lama
Postingan Lebih Baru