JAKARTA - Gubernur Aceh, H. Muzakir Manaf, kembali menunjukkan komitmennya terhadap perdamaian dan pemberdayaan masyarakat pascakonflik. Dalam pertemuan dengan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Hanif Faisol Nurofiq, di Jakarta Timur, Selasa (7/10/2025), Mualem—sapaan akrabnya—mengusulkan pembentukan Dana Abadi bagi kombatan dan korban konflik di Aceh.
Usulan tersebut, menurut Mualem, bukan sekadar wacana ekonomi, tetapi merupakan langkah strategis untuk menguatkan fondasi perdamaian yang telah dibangun selama dua dekade terakhir. "Kami meminta dukungan penuh dari pemerintah pusat, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup, agar dana abadi ini menjadi instrumen nyata membangun kembali kehidupan masyarakat pascakonflik di Aceh," ujarnya.
Mualem menegaskan, Dana Abadi Kombatan dan Korban Konflik akan difokuskan untuk mengelola lahan bekas konflik agar produktif, menciptakan lapangan kerja, dan memastikan keberlanjutan ekonomi bagi masyarakat terdampak. "Ini bukan hanya tentang ekonomi, tapi juga tentang keadilan sosial dan menjaga perdamaian yang telah diperjuangkan dengan pengorbanan besar," tambahnya.
Selain membahas dana abadi, Mualem juga menyampaikan dukungan terhadap Instruksi Gubernur tentang Penataan dan Penertiban Perizinan Sumber Daya Alam. Kebijakan itu, katanya, menjadi komitmen Pemerintah Aceh untuk memperkuat tata kelola lingkungan sekaligus membuka ruang investasi hijau yang berkelanjutan.
Dalam kesempatan tersebut, Gubernur Muzakir juga menyoroti pentingnya percepatan penyaluran Dana Rehabilitasi Berbasis Kinerja (RBP) dan program REDD+ Carbon Aceh—dua inisiatif strategis untuk menekan emisi karbon sambil meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan.
"Pembangunan berkelanjutan harus berpihak pada manusia dan alam. Kita ingin masyarakat Aceh merasakan manfaat langsung dari pengelolaan lingkungan yang bijak," ujarnya.
Dalam bidang konservasi, Mualem menegaskan keseriusan Pemerintah Aceh dalam menjaga kelestarian satwa liar, terutama gajah Sumatera. Ia menilai sinergi antarinstansi, termasuk Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh serta BKSDA, menjadi kunci utama keberhasilan perlindungan ekosistem. "Menjaga satwa dan hutan adalah tanggung jawab moral kita semua terhadap warisan alam Aceh," katanya.
Tak hanya itu, Mualem juga mendorong percepatan pembentukan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) agar aktivitas penambangan masyarakat dapat dilakukan secara legal dan ramah lingkungan. Ia turut menyinggung rencana investasi daur ulang tembaga dan lithium oleh PT Aceh Green Industri, yang disebutnya selaras dengan arah pembangunan hijau Aceh.
"Pemerintah Aceh berkomitmen membangun daerah ini secara berkelanjutan. Setiap langkah pembangunan harus sejalan dengan pelestarian alam dan kesejahteraan rakyat," tegasnya.
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menyambut baik gagasan tersebut dan mengapresiasi semangat Pemerintah Aceh dalam menyeimbangkan pembangunan dengan kelestarian lingkungan. "Kami melihat semangat kuat dari Gubernur Aceh dalam mengelola sumber daya alam secara bijak. Kementerian Lingkungan Hidup akan mendukung penuh program-program yang mengarah pada pembangunan hijau dan kesejahteraan masyarakat," ujar Hanif. []
Usulan tersebut, menurut Mualem, bukan sekadar wacana ekonomi, tetapi merupakan langkah strategis untuk menguatkan fondasi perdamaian yang telah dibangun selama dua dekade terakhir. "Kami meminta dukungan penuh dari pemerintah pusat, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup, agar dana abadi ini menjadi instrumen nyata membangun kembali kehidupan masyarakat pascakonflik di Aceh," ujarnya.
Mualem menegaskan, Dana Abadi Kombatan dan Korban Konflik akan difokuskan untuk mengelola lahan bekas konflik agar produktif, menciptakan lapangan kerja, dan memastikan keberlanjutan ekonomi bagi masyarakat terdampak. "Ini bukan hanya tentang ekonomi, tapi juga tentang keadilan sosial dan menjaga perdamaian yang telah diperjuangkan dengan pengorbanan besar," tambahnya.
Selain membahas dana abadi, Mualem juga menyampaikan dukungan terhadap Instruksi Gubernur tentang Penataan dan Penertiban Perizinan Sumber Daya Alam. Kebijakan itu, katanya, menjadi komitmen Pemerintah Aceh untuk memperkuat tata kelola lingkungan sekaligus membuka ruang investasi hijau yang berkelanjutan.
Dalam kesempatan tersebut, Gubernur Muzakir juga menyoroti pentingnya percepatan penyaluran Dana Rehabilitasi Berbasis Kinerja (RBP) dan program REDD+ Carbon Aceh—dua inisiatif strategis untuk menekan emisi karbon sambil meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan.
"Pembangunan berkelanjutan harus berpihak pada manusia dan alam. Kita ingin masyarakat Aceh merasakan manfaat langsung dari pengelolaan lingkungan yang bijak," ujarnya.
Dalam bidang konservasi, Mualem menegaskan keseriusan Pemerintah Aceh dalam menjaga kelestarian satwa liar, terutama gajah Sumatera. Ia menilai sinergi antarinstansi, termasuk Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh serta BKSDA, menjadi kunci utama keberhasilan perlindungan ekosistem. "Menjaga satwa dan hutan adalah tanggung jawab moral kita semua terhadap warisan alam Aceh," katanya.
Tak hanya itu, Mualem juga mendorong percepatan pembentukan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) agar aktivitas penambangan masyarakat dapat dilakukan secara legal dan ramah lingkungan. Ia turut menyinggung rencana investasi daur ulang tembaga dan lithium oleh PT Aceh Green Industri, yang disebutnya selaras dengan arah pembangunan hijau Aceh.
"Pemerintah Aceh berkomitmen membangun daerah ini secara berkelanjutan. Setiap langkah pembangunan harus sejalan dengan pelestarian alam dan kesejahteraan rakyat," tegasnya.
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menyambut baik gagasan tersebut dan mengapresiasi semangat Pemerintah Aceh dalam menyeimbangkan pembangunan dengan kelestarian lingkungan. "Kami melihat semangat kuat dari Gubernur Aceh dalam mengelola sumber daya alam secara bijak. Kementerian Lingkungan Hidup akan mendukung penuh program-program yang mengarah pada pembangunan hijau dan kesejahteraan masyarakat," ujar Hanif. []
