BREAKING NEWS

Bireuen Kota Santri: Apa yang Perlu Diperbaiki?

Kepala Dinas Pendidikan Dayah Kab.Bireuen, Anwar, S.Ag, M.A.P

Oleh: Anwar, S.Ag, M.A.P

Bireuen memiliki fondasi yang kuat untuk menjadi Kota Santri, dayah dan madrasah yang berlimpah, santri yang bersemangat, serta dukungan pemerintah dan masyarakat.

Namun, fondasi ini tidak akan kokoh tanpa mengatasi hambatan-hambatan utama yang masih membayangi pendidikan Islam di kabupaten ini. Dari data, kualitas, hingga dinamika sosial, ada beberapa masalah krusial yang perlu diperbaiki agar mimpi besar ini tidak hanya tinggal di atas kertas.

Hambatan pertama adalah infrastruktur pendidikan yang masih jauh dari ideal. Banyak dayah di Bireuen beroperasi dengan bangunan sederhana yang rentan rusak, kekurangan air bersih, teknologi atau ruang belajar yang layak. Madrasah swasta di pedesaan juga sering menghadapi masalah serupa, dengan kelas yang penuh sesak dan minim alat bantu belajar. 

Dampaknya jelas: proses pembelajaran terganggu, santri sulit berkonsentrasi, dan dayah kehilangan daya tarik bagi generasi muda yang terbiasa dengan kenyamanan modern.

Tanpa perbaikan fisik yang signifikan seperti renovasi asrama, penyediaan teknologi, atau ketahanan terhadap bencana seperti banjir, infrastruktur akan terus menjadi batu sandungan.

Kualitas pendidikan yang tidak merata adalah hambatan kedua. Dayah besar memiliki teungku berpengalaman dan santri yang kompetitif, tetapi dayah kecil di pelosok sering kali kekurangan guru terlatih dan hanya mengandalkan kurikulum tradisional yang terbatas pada ilmu agama. 

Madrasah negeri lebih baik dalam hal fasilitas dan kurikulum terpadu, tetapi madrasah swasta tertinggal jauh. Kesenjangan ini menciptakan dua dunia: santri dari lembaga unggulan punya peluang lebih besar, sementara yang lain tertinggal, terutama dalam keterampilan modern seperti teknologi atau bahasa.

Untuk menjadi Kota Santri, Bireuen harus memastikan setiap santri di kota atau desa mendapat pendidikan berkualitas yang setara.

Uang adalah darah yang mengalirkan kehidupan ke pendidikan Islam, tetapi di Bireuen, alirannya sering tersendat. Banyak dayah masih bergantung pada sumbangan masyarakat yang tidak menentu, sementara bantuan pemerintah terbatas dan lebih banyak mengalir ke dayah-dayah besar terutama yang punya kedekatan dengan pihak legislatif dengan alokasi dana pokir dari anggota DPRK atau DPRA.

Guru di dayah kecil sering tidak digaji layak, dan santri dari keluarga miskin terpaksa putus sekolah karena biaya hidup. Potensi ekonomi dayah (pesantren) terutama wirausaha santri atau pengelolaan wakaf belum digarap serius, membuat dayah sulit mandiri. Tanpa pendanaan yang stabil dan strategi ekonomi kreatif, pendidikan Islam di Bireuen akan terus berjalan pincang.

Hambatan berikutnya adalah lemahnya koordinasi antara pemerintah, dayah dan masyarakat. Pemerintah memiliki kebijakan dan anggaran, tetapi sering kali tidak melibatkan ulama atau warga dalam perencanaan, sehingga program seperti pelatihan guru atau bantuan fasilitas tidak tepat sasaran. 

Masyarakat mendukung dayah dengan semangat, tetapi kurang inisiatif untuk berkontribusi secara strategis misalnya, membangun kemitraan ekonomi dengan dayah. Akibatnya, upaya pendidikan Islam terpecah-belah: pemerintah fokus pada madrasah, dayah berjuang sendiri, dan masyarakat hanya jadi penonton. Sinergi yang buruk ini adalah dinding yang harus diruntuhkan untuk membangun Kabupaten Bireuen sebagai Kota Santri.

Terakhir, ada dua ancaman eksternal yang tidak bisa diabaikan: modernisasi dan bencana alam. Generasi muda Bireuen semakin terpikat oleh gaya hidup digital dan peluang di luar dayah, mengurangi minat mereka pada pendidikan tradisional. Jika dayah tidak berinovasi dengan menawarkan teknologi atau keterampilan relevan dayah berisiko ditinggalkan. 

Di sisi lain, banjir tahunan di pesisir terus mengancam kelangsungan dayah dan madrasah. Tanpa adaptasi terhadap modernitas dan strategi mitigasi bencana, fondasi pendidikan Islam di Bireuen akan rapuh.

Hambatan-hambatan ini bukan sekadar daftar keluhan, tetapi panggilan untuk bertindak. Infrastruktur yang tertinggal harus diperbaiki dengan investasi cerdas, kesenjangan kualitas perlu diatasi dengan pemerataan sumber daya, pendanaan bisa diperkuat melalui kemandirian ekonomi, sinergi harus dibangun lewat kolaborasi dan ancaman eksternal dapat dihadapi dengan inovasi serta perencanaan. 

Kabupaten Bireuen tidak bisa menjadi Kota Santri jika hanya mengandalkan semangat tanpa aksi nyata. Hambatan ini adalah cermin yang menunjukkan apa yang salah dan sekaligus peta yang mengarahkan kita pada apa yang harus diperbaiki. []

Penulis Anwar, S.Ag, M.A.P 
Kepala Dinas Pendidikan Dayah Kabupaten Bireuen.