Debat Publik Pilgub Aceh Berakhir Ricuh, Harapan pada Panggung Demokrasi yang Tertunda

Perjelasan Ketua KIP Aceh atas Kacaunya Debat Publik Ketiga (Doc Rachmad Yuliadi Nasir)

BANDA ACEH - Debat publik pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh 2024 yang berlangsung pada Selasa malam (19/11/2024) di Ballroom Hotel The Pade, Aceh Besar, menjadi sorotan publik. Acara yang awalnya dirancang sebagai panggung edukasi politik bagi masyarakat berakhir dengan kericuhan, memaksa Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh menghentikan jalannya debat sebelum waktunya.  

Debat ketiga ini merupakan putaran terakhir yang disiarkan secara nasional oleh iNews TV, dengan tema "Mewujudkan Aceh Maju, Merawat dan Menjaga Perdamaian Aceh". Kegiatan ini digelar untuk memberikan ruang bagi pasangan calon menyampaikan visi, misi, dan program kerja mereka. Namun, harapan tersebut pupus saat kericuhan terjadi, memicu diskusi panas di ruang debat dan media sosial.  

Menghadirkan sembilan panelis terkemuka, seperti Prof. Dr. Ir. Agussabti, M.Asi., IPU., dan Dr. Otto Syamsuddin Ishak, debat ini diharapkan menjadi wadah substantif untuk membedah visi dan strategi calon dalam menjaga perdamaian dan membangun Aceh. Dua moderator profesional turut memandu jalannya acara yang dirancang hingga pukul 22.00 WIB.  

Namun, kericuhan pecah di tengah debat. Ketua KIP Aceh, Agusni, menyampaikan bahwa keputusan menghentikan debat dilakukan setelah koordinasi dengan tim pasangan calon, yang sayangnya tidak membuahkan kesepakatan.  

"Karena tidak ada kesepakatan, dan durasi penyiaran telah habis, kami memutuskan untuk menghentikan debat ini," ujar Agusni dalam konferensi pers usai acara.  

Debat awalnya berlangsung tertib. Pasangan calon nomor urut 2, Muzakir Manaf (Mualem) dan Fadhullah, membuka sesi penyampaian visi dan misi dengan fokus pada penguatan ekonomi berbasis syariah dan pembangunan infrastruktur berkelanjutan.  

Ketegangan mulai meningkat ketika pasangan nomor urut 1, Bustami Hamzah dan Fadhil Rahmi, menyampaikan visi mereka. Pendukung pasangan nomor 2 melayangkan protes keras, menuding Bustami menggunakan alat bantu komunikasi selama debat. Aksi ini memuncak ketika beberapa pendukung nomor 2 mencoba memasuki panggung, memaksa moderator menghentikan jalannya acara demi menjaga situasi tetap kondusif.  

Kericuhan ini mencoreng harapan masyarakat akan debat yang informatif dan substansial. Sejumlah pengamat menyesalkan insiden ini, menyebutnya sebagai langkah mundur dalam demokrasi Aceh.  

"Debat publik seharusnya menjadi ruang intelektual untuk memperkenalkan gagasan, bukan arena konflik yang memperkeruh suasana," ujar Dr. Effendi Hasan, salah satu panelis.  

Warga yang menyaksikan debat melalui televisi pun merasa kecewa. "Kami ingin tahu lebih banyak tentang program mereka, tapi malah disuguhi keributan," kata Maryam, seorang ibu rumah tangga di Banda Aceh.  

Dengan kericuhan ini, publik Aceh kini harus menggantungkan harapan mereka pada program kampanye pasangan calon di sisa waktu menuju pemilihan. Insiden ini juga menjadi pengingat bahwa kedewasaan politik dan disiplin perlu terus dikuatkan, baik di kalangan kandidat maupun pendukungnya.  

"Semoga peristiwa ini menjadi pembelajaran, agar demokrasi Aceh ke depan lebih matang dan bermartabat," tutup Agusni.  [dar]
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru