MAA Aceh: Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan Adat Sudah Berjalan dengan Baik

Ketua Bidang Hukum Adat MAA Provinsi Aceh, Drs. Syaiba Ibrahim.
BANDA ACEH - Pemerintah Aceh melalui Majelis Peradilan Adat Aceh (MAA) mendorong pemangku adat di gampong-gampong agar memaksimalkan fungsi dan perannya dalam melestarikan adat, termasuk penyelesaian 18 perkara ringan melalui Peradilan Adat.


Terkait penyelesaian sengketa melalui Peradilan Adat, Ketua Bidang Hukum Adat MAA Provinsi Aceh, Drs. Syaiba Ibrahim mengatakan, saat Peradilan Adat di Aceh sudah berjalan. 


Namun, katanya, MAA terus mendorong agar 18 perkara yang sudah dituangkan dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat bisa lebih maksimal dijalankan oleh Majelis Adat Gampong


“Kita di Aceh, tentang penyelenggaraan Adat dan Adat Istiadat punya pijakan yang cukup kuat, begitu juga tentang Peradilan Adat. Bahwa apakah Peradilan Adat di Aceh sudah berjalan atau belum, jawabannya sudah berjalan. Hal ini juga bisa dilihat dari banyak kasus di ke Kepolisian yang dikembalikan ke Gampong untuk diselesaikan secara adat," kata Syaiba, saat dimintai tanggapan baru-baru ini.


"MAA Aceh terus mendorong agar Peradilan Adat ini bisa dijalankan oleh semua Majelis Adat di gampong-gampong. Mekanisme pelaksanaannya sudah diatur sedemikian rupa. Namun yang perlu digarisbawahi adalah yang menjalankan Peradilan Adat ini adalah Majelis Adat Gampong, bukan MAA Provinsi," katanya.


Syaiba menjelaskan, dalam Pasal 4 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 ditegaskan bahwa pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat dimaksudkan untuk membangun tata kehidupan masyarakat yang harmonis dan seimbang yang diridhai oleh Allah SWT, antara hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungannya, dan rakyat dengan pemimpinnya.


“Begitu juga dengan Peradilan Adat, telah memiliki dasar hukum yang cukup kuat. Ketika berbicara tentang Peradilan Adat, yang pertama ini kan menyangkut dasar hukum. Dasar hukumnya apa, kita punya Qanun Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat Dan Adat Istiadat, serta Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat,” tegasnya.


Kemudian lanjutnya, turunan dari itu, ada MoU atau keputusan Bersama antara Gubernur Aceh, Kapolda Aceh, dan Ketua MAA Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa / Perselisihan Adat Istiadat. Kemudian lahirnya Pergub Nomor 60 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa / Perselisihan Adat Istiadat. "Itu dasar hukum adanya Peradilan Adat di Aceh," ungkapnya.


MAA Aceh, kata Syaiba, mendorong Majelis Adat Gampong agar ketika ada sengketa di masyarakat terkait perkara-perkara ringan sebagaimana yang tercamtum dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008, tidak langsung dilaporkan ke polisi. Cukup diselesaikan di gampong melalui Peradilan Adat. 


Sekedar informasi, berdasarkan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008, ada 18 sengketa/perselisihan Adat dan Adat Istiadat yang bisa diselesaikan oleh pemangku adat atau perangkat desa melalui Peradilan Adat.


Ke 18 perkara tersebut yaitu: (1) perselisihan dalam rumah tangga; (2) sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh; (3) perselisihan antar warga; (4) khalwat mesum; (5) perselisihan tentang hak milik; (6) pencurian dalam keluarga (pencurian ringan); (7) perselisihan harta sehareukat; (8) pencurian ringan; (9) pencurian ternak peliharaan.


Kemudian (10) pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan; (11) persengketaan di laut; (12) persengketaan di pasar; (13) penganiayaan ringan; (14) pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat); (15) pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik; (16) pencemaran lingkungan (skala ringan); dan (17) ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan (18) perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat. [Adv]

Postingan Lama
Postingan Lebih Baru