Begini Cara Penyelesaian Perkara Laka Lantas di MAA Aceh Tenggara

Ketua MAA Aceh Tenggara, Dr. H. Thalib Akbar, MSc
KUTACANE – Eksistensi Peradilan Adat di Aceh kini semakin diterima oleh masyarakat. Berbagai kasus perkara ringan di masyarakat kini tidak lagi diselesaikan melalui ranah hukum di Kepolisian dan Pengadilan Negara, akan tetapi melalui Peradilan Adat yang sudah memiliki landasan hukum yang kuat.

Seperti kasus kecelakaan lalu lintas di Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara. Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Aceh Tenggara, baru-baru ini berhasil mengadili kasus sengketa/perselisihan kecelakaan lalu lintas melalui Peradilan Adat.

Dalam surat putusan yang diterima media ini dari Ketua MAA Aceh Tenggara, Dr. H. Thalib Akbar, MSc, perselisihan tersebut diputuskan pada Minggu, 23 Oktober 2022. Dikutip media ini dari putusan Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Aceh Tenggara Nomor: 224/57/2022 itu, pihak yang terlibat berinisal R (38), warga asal Kabupaten Bireuen (pihak pertama/terlapor).

Ia tanpa sengaja menabrak HA, warga Kecamatan Babul Rahmah, Kabupaten Aceh Tenggara, saat menyeberang jalan secara tiba-tiba. Kejadian yang mengakibat HAA meninggal dunia ini terjadi di Desa Kuta Rih, Kecamatan Babussalam, Kabupaten Aceh Tenggara pada tanggal 18 Oktober 2022 sekitar Pukul 17:15 WIB.

Kemudian pihak keluarga atau Wali HAA (pihak kedua) melaporkan kasus tersebut dan perkaranya berhasil diselesaikan melalui Peradilan Adat yang ditangani langsung oleh Majelis Adat Kabupaten Aceh Tenggara.

"Perselisihan adat dan adat istiadat kecelakaan lalu lintas ini berlokus di Kutacane antara penduduk Kabupaten Bireuen, Aceh dengan Warga Kabupaten Aceh Tenggara, maka sesuai ketentuan dilaksanakan dan diputuskan dibawah Sidang Mahkamah Adat Kabupaten Aceh Tenggara," ujar Thalib Akbar kepada media ini, sabtu (19/11/2022).

Berdasarkan aturan yang ada, maka Majelis Hakim Mahkamah Adat Kabupaten Aceh Tenggara menggelar musyawarah Sidang Majelis Mahkamah Adat yang pesertanya dihadri oleh 18 orang, diantaranya hadir Hakim Ketua Mahkamah Adat Kabupaten Aceh Tenggara selaku Ketua MAA, dibantu oleh Hakim Ahli Adat Alas yang sudah mendapat Sertifikasi Daerah, juga sebagai Administratur/Panitera Pengganti Majelis.

Dalam siding tersebut, disepakati "Hukum Adatnya, bahwa menurut hukum adat Alas Kabupaten Aceh Tenggara, berdasarkan Al-Quran Surat Al-Hujurat Ayat 10 dan Surat Al-Maidah ayat 45, serta Surat Al-Bagarah ayat 178-179 yang sudah diadatkan di Tanah Alas sejak nenek moyang, maka Pihak Pertama (Terlapor) wajib menanggung penyelesaian adat diyat yang dibadalkan dengan Riyal Mekhancap.

"Hal ini tercantum dalam dokumen khusus atas adanya Maaf dari Pihak Kedua (Pelapor) selaku wali korban atas Hukum Qisas, dan Pihak Pertama berkewajiban menunaikan Adat 32 (tiga-dua) Sisentuene, yaitu Tiga Parah dua Kaleng Padi yang dikonversikan sekitar Rp3.200.000 (tiga juta dua ratus ribu rupiah)," ungkapnya.

Bahwa atas kesepakatan bersama Pihak Pertama dan Pihak Kedua serta Majelis Sidang seluruhnya menyetujui pelaksanaan Adat Diyat pengganti Qisas dan menyelesaikan adat 32 atas kesepakatan musyawarah masing-masing Pihak beberapa kali secara terpisah dari Majelis Hakim Mahkamah Adat dan para Majelis Sidang.

Maka selanjutnya diambil keputusan mufakat adat bulat sebagai berikut, yaitu Majelis Sidang dan Majelis Hakim Mahkamah Adat dari Majelis Adat Aceh Kabupaten Aceh Tenggara membuat Putusan bahwa (1) Kedua belah pihak sepakat berdamai dunia akhirat, baik pada mediasi tertulis maupun pada mediasi lisan dalam Sidang Majelis, dan tidak ada lagi sengketa/perselisihan apapun dan seluruh adat istiadatnya telah selesai sehingga Putusan ini telah berkekuatan hukum tetap.

(2) Kedua Belah Pihak diadatkan bersaudara Dunia Akhirat, dan bila ada minat abang Korban melanjutkan studi akan disekolahkan Pihak Pertama di Universitas Al-Muslim Bireuen pada strata (S-1) sebagai harapan masa depan Keluarga Pihak Kedua. [Adv]
Postingan Lama
Postingan Lebih Baru