DSI
DSI Aceh Gelar Seminar Pra Nikah dan Hukum Keluarga, Memeta Permasalahan Sosial
BANDA ACEH - Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh, mengelar seminar Pra Nikah dan Hukum Keluarga yang diikuti sekitar 100 peserta dari berbagai unsur seperti akademisi, pemerintahan, instansi terkait, organisasi masyarakat sipil di Aceh dan masyarakat umum.
Kepala Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh, EMK Alidar menyatakan keluarga adalah unit sosial terkecil yang mendasari eksistensi sebagai pondasi, keluarga sangat menentukan bentuk dan masa depan masyarakat dan negara.
Untuk itu, kata Alidar, fase pasca nikah atau ketika membangun keluarga adalah momen dimana pengetahuan dan pemahaman tentang keluarga dan tujuan berkeluarga diimplementasikan.
"Miskin pengetahuan dan pemahaman ditambah dengan kesiapan psikologis yang kurang mapan kerap mengakibatkan hubungan keluarga terputus ketika usia pernikahan masih dini," kata EMK Alidar, ketika membuka seminar pra nikah dan hukum keluarga, Senin (2/8/2022) di salah satu penginapan di Banda Aceh.
Katanya, tentu saja pengetahuan sering kurang berdampak pada kehidupan individu ketika berkeluarga. Banyak individu yang dianggap berpengetahuan cukup juga memiliki permasalahan keluarga yang cukup berat dan membebani keluarga besar mereka hingga masyarakat sekitarnya.
"Semua permasalahan ini adalah ruang lingkup kerja institusi lintas sektoral. Permasalahan ini perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, sehingga keluarga yang sejahtera, aman dan melindungi dapat diwujudkan dalam sebuah relasi yang seimbang dan tidak diskriminatif," katanya.
Apalagi sebutnya, akhir-akhir ini, keadaan keluarga masyarakat Aceh menunjukkan keadaan yang mengkhawatirkan dari beberapa indikator, seperti kemiskinan, tindak kekerasan, penggunaan narkotika dan lain sebagainya.
Keadaan ini dapat mempengaruhi langsung keadaan masyarakat Aceh secara umum di masa yang akan datang. Ini terlihat dari tingginya angka pengguna narkoba, pengangguran dan juga rendahnya pendapatan ekonomi masyarakat Aceh, sebagai dampak dari keadaan keluarga yang tidak baik.
Selain itu, angka perceraian di Provinsi Aceh terus meningkat dari tahun ke tahun. Mahkamah Syar'iyah Aceh mencatat jumlah kasus perceraian (cerai talak dan cerai gugat) dan telah memutuskan sebanyak 21,200 perkara di seluruh Aceh pada tahun 2016 hingga sampai Tahun 2019.
Angka tersebut memberi indikasi bahwa ada ikatan keluarga yang terputus setiap 1,5 jam sekali selama kurun waktu 3 tahun.
Faktor-faktor dominan yang diduga menjadi penyebab terjadinya perceraian adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus, meninggalkan pasangan, faktor ekonomi, KDRT, salah satu dihukum penjara, poligami, cacat badan, narkoba, murtad, judi, zina dan lain-lain.
Karenanya, kata fase pra nikah adalah momen awal yang sangat penting untuk mendapat perhatian serius terkait kesiapan calon pengantin laki-laki perempuan, baik dari sisi pengetahuan, perilaku dan keahlian tekhnis di dalam rumah tangga termasuk di dalamnya keahlian soft skil, seperti komunikasi interpersonal dan lain-lain.
Penguasaan pengetahuan dan keahlian pendukung yang relevan sebelum seseorang menikah, ditambah dengan kedewasaan secara usia dan psikologis, sejatinya akan membuat pasangan lebih memiliki daya tahan dalam mengarungi bahtera dalam rumah tangga yang akan diselimuti oleh suka dan duka, kebahagiaan dan tantangan pada saat yang bersamaan.
Karena itu, Pemerintah Aceh melalui Dinas Syariat Islam Aceh telah pula engintervensi/meminimalisir permasalahan keluarga di Aceh dengan pendekatan legal. Pada Tahun 2019 Pemerintah Aceh telah mengajukan Qanun Keluarga yang sedang dipertimbangkan pengesahannya oleh Pemerintah Pusat.
"Qanun Keluarga kita harapkan dapat menjadi bagian solusi terhadap permasalahan keluarga," kata Alidar.
Ketua panitia, Dr Fikri Bin Sulaiman Ismail Lc MA mengatakan, kegiatan seminar ini dilakukan dengan tujuan untuk mendiskusi perkembangan keluarga di Provinsi Aceh dan permasalahan sosial serta budaya yang mempengaruhi seperti kekerasan seksual terhadap anak, kemiskinan, kekerasan di dalam rumah tangga dan kekerasan lainnya.
"Kita memetakan secara bersama permasalahan sosial yang mempengaruhi keutuhan keluarga dan apa yang sebaiknya dilakukan oleh Pemerintah Aceh dan pihak terkait lainnya untuk membangun masa depan warga yang lebih baik," katanya.
Kata Fikri, adapun narasumber/pemateri kegiatan ini adalah dari unsur Dinas Syariat Islam Aceh, praktisi pendidikan dan pakar yang berkompeten di bidangnya, seperti arah dan kebijakan Pemerintah Aceh dalam mendukung peningkatan ketahanan keluarga Islami.
Lalu keadaan keluarga Aceh pasca tsunami dan konflik, kursus calon pengantin (kursus pra nikah) dan relevansi Qanun Keluarga terhadap permasalahan sosial di Aceh.
Karena, menurut Fikri, keluarga adalah unit sosial terkecil yang mendasari eksistensi masyarakat dan negara. Sebagai pondasi, keluarga sangat menentukan bentuk dan masa depan masyarakat dan negara.
Akhir-akhir ini, keadaan keluarga masyarakat Aceh menunjukkan keadaan yang mengkhawatirkan. Kekhawatiran ini terlihat dari banyak indikator, seperti kemiskinan, stunting, tindak kekerasan, penggunaan narkotika dan lain sebagainya.
"Keadaan negatif masyarakat Aceh secara umum akan bermuara pada keadaan keluarga yang tidak stabil," kata Fikri, yang juga menjabat sebagai Kepala Bidang Penyuluhan Agama Islam dan Tenaga Da'i di DSI Aceh.
Berbagai permasalahan perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, sehingga keluarga yang sejahtera, aman dan melindungi dapat diwujudkan dalam sebuah relasi yang seimbang dan tidak diskriminatif. [/*]
Kepala Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh, EMK Alidar menyatakan keluarga adalah unit sosial terkecil yang mendasari eksistensi sebagai pondasi, keluarga sangat menentukan bentuk dan masa depan masyarakat dan negara.
Untuk itu, kata Alidar, fase pasca nikah atau ketika membangun keluarga adalah momen dimana pengetahuan dan pemahaman tentang keluarga dan tujuan berkeluarga diimplementasikan.
"Miskin pengetahuan dan pemahaman ditambah dengan kesiapan psikologis yang kurang mapan kerap mengakibatkan hubungan keluarga terputus ketika usia pernikahan masih dini," kata EMK Alidar, ketika membuka seminar pra nikah dan hukum keluarga, Senin (2/8/2022) di salah satu penginapan di Banda Aceh.
Katanya, tentu saja pengetahuan sering kurang berdampak pada kehidupan individu ketika berkeluarga. Banyak individu yang dianggap berpengetahuan cukup juga memiliki permasalahan keluarga yang cukup berat dan membebani keluarga besar mereka hingga masyarakat sekitarnya.
"Semua permasalahan ini adalah ruang lingkup kerja institusi lintas sektoral. Permasalahan ini perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, sehingga keluarga yang sejahtera, aman dan melindungi dapat diwujudkan dalam sebuah relasi yang seimbang dan tidak diskriminatif," katanya.
Apalagi sebutnya, akhir-akhir ini, keadaan keluarga masyarakat Aceh menunjukkan keadaan yang mengkhawatirkan dari beberapa indikator, seperti kemiskinan, tindak kekerasan, penggunaan narkotika dan lain sebagainya.
Keadaan ini dapat mempengaruhi langsung keadaan masyarakat Aceh secara umum di masa yang akan datang. Ini terlihat dari tingginya angka pengguna narkoba, pengangguran dan juga rendahnya pendapatan ekonomi masyarakat Aceh, sebagai dampak dari keadaan keluarga yang tidak baik.
Selain itu, angka perceraian di Provinsi Aceh terus meningkat dari tahun ke tahun. Mahkamah Syar'iyah Aceh mencatat jumlah kasus perceraian (cerai talak dan cerai gugat) dan telah memutuskan sebanyak 21,200 perkara di seluruh Aceh pada tahun 2016 hingga sampai Tahun 2019.
Angka tersebut memberi indikasi bahwa ada ikatan keluarga yang terputus setiap 1,5 jam sekali selama kurun waktu 3 tahun.
Faktor-faktor dominan yang diduga menjadi penyebab terjadinya perceraian adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus, meninggalkan pasangan, faktor ekonomi, KDRT, salah satu dihukum penjara, poligami, cacat badan, narkoba, murtad, judi, zina dan lain-lain.
Karenanya, kata fase pra nikah adalah momen awal yang sangat penting untuk mendapat perhatian serius terkait kesiapan calon pengantin laki-laki perempuan, baik dari sisi pengetahuan, perilaku dan keahlian tekhnis di dalam rumah tangga termasuk di dalamnya keahlian soft skil, seperti komunikasi interpersonal dan lain-lain.
Penguasaan pengetahuan dan keahlian pendukung yang relevan sebelum seseorang menikah, ditambah dengan kedewasaan secara usia dan psikologis, sejatinya akan membuat pasangan lebih memiliki daya tahan dalam mengarungi bahtera dalam rumah tangga yang akan diselimuti oleh suka dan duka, kebahagiaan dan tantangan pada saat yang bersamaan.
Karena itu, Pemerintah Aceh melalui Dinas Syariat Islam Aceh telah pula engintervensi/meminimalisir permasalahan keluarga di Aceh dengan pendekatan legal. Pada Tahun 2019 Pemerintah Aceh telah mengajukan Qanun Keluarga yang sedang dipertimbangkan pengesahannya oleh Pemerintah Pusat.
"Qanun Keluarga kita harapkan dapat menjadi bagian solusi terhadap permasalahan keluarga," kata Alidar.
Ketua panitia, Dr Fikri Bin Sulaiman Ismail Lc MA mengatakan, kegiatan seminar ini dilakukan dengan tujuan untuk mendiskusi perkembangan keluarga di Provinsi Aceh dan permasalahan sosial serta budaya yang mempengaruhi seperti kekerasan seksual terhadap anak, kemiskinan, kekerasan di dalam rumah tangga dan kekerasan lainnya.
"Kita memetakan secara bersama permasalahan sosial yang mempengaruhi keutuhan keluarga dan apa yang sebaiknya dilakukan oleh Pemerintah Aceh dan pihak terkait lainnya untuk membangun masa depan warga yang lebih baik," katanya.
Kata Fikri, adapun narasumber/pemateri kegiatan ini adalah dari unsur Dinas Syariat Islam Aceh, praktisi pendidikan dan pakar yang berkompeten di bidangnya, seperti arah dan kebijakan Pemerintah Aceh dalam mendukung peningkatan ketahanan keluarga Islami.
Lalu keadaan keluarga Aceh pasca tsunami dan konflik, kursus calon pengantin (kursus pra nikah) dan relevansi Qanun Keluarga terhadap permasalahan sosial di Aceh.
Karena, menurut Fikri, keluarga adalah unit sosial terkecil yang mendasari eksistensi masyarakat dan negara. Sebagai pondasi, keluarga sangat menentukan bentuk dan masa depan masyarakat dan negara.
Akhir-akhir ini, keadaan keluarga masyarakat Aceh menunjukkan keadaan yang mengkhawatirkan. Kekhawatiran ini terlihat dari banyak indikator, seperti kemiskinan, stunting, tindak kekerasan, penggunaan narkotika dan lain sebagainya.
"Keadaan negatif masyarakat Aceh secara umum akan bermuara pada keadaan keluarga yang tidak stabil," kata Fikri, yang juga menjabat sebagai Kepala Bidang Penyuluhan Agama Islam dan Tenaga Da'i di DSI Aceh.
Berbagai permasalahan perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, sehingga keluarga yang sejahtera, aman dan melindungi dapat diwujudkan dalam sebuah relasi yang seimbang dan tidak diskriminatif. [/*]
Via
DSI