Adv
Perindag
Kadisperindag Aceh : Baiknya Swasta yang Bangun Pabrik Minyak Goreng
BANDA ACEH - Keberadaan pabrik minyak goreng (migor) di Aceh terus menggema seiring terjadinya kelangkaan migor akhir-akhir ini. Terbaru, keberadaan pabrik minyak goreng disuarakan oleh Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Irpannusir.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Kadisperindag) Aceh Mohd Tanwier saat dimintai tanggapan mengatakan, Aceh memang sudah semestinya memiliki pabrik minyak goreng sendiri.
Namun menurut Kadisperindag Aceh, baiknya yang membangun pabrik minyak goreng adalah pihak swasta. Sementara Pemerintah Aceh memfasilitasi penunjangnya seperti menyediakan lahan di Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong, Aceh Besar.
“Seharusnya kita sudah layak memiliki pabrik minyak goreng sendiri, bukan hanya pabrik minyak goreng, tapi juga pabrik-pabrik lainnya. Tapi kita berharap, harusnya itu yang membangun pabrik adalah swasta. Dalam hal ini Pemerintah Aceh juga sudah menyiapkan lahan untuk membangun pabrik, yaitu KIA Ladong,” ujar Kadisperindag Aceh, Mohd Tanwier, usai mengikuti rapat dengan Komisi II DPRA, Selasa (22/2/2022).
Mohd Tanwier berharap ada investor, khususnya pengusaha Aceh yang mampu untuk membangun pabrik tersebut. “Kami menghimbau teman-teman pengusaha ikut berpartisipasi dalam perkembangan perekonomian Aceh,” harapnya.
Saat ditanya, apakah Pemerintah Aceh melalui BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) dapat membangun pabrik minyak goreng, Kadisperindag Aceh itu menuturkan, hal itu mungkin saja. Namun dia kembali menegaskan baiknya swasta yang bangun sehingga ada perputaran uang di Aceh dari luar APBA.
“Kala Pemerintah Aceh yang membangun melalui BUMD, saya pikir bisa-bisa saja, tapi lebih bagusnya dibangun oleh pihak swasta. Kalau nanti kebijakannya Pemerintah Aceh ikut serta membangun pabrik, ya tentu akan diserahkan ke BUMD,” pungkasnya.
Sementara Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mendorong pemerintah dan pengusaha untuk membangun industri pengolahan minyak goreng di Provinsi Aceh.
Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Irpannusir, mengatakan pihaknya sangat mendukung untuk melanjutkan pembangunan pabrik minyak goreng yang ada Kota Subussalam. Karena pembangunan pabrik minyak goreng sangat dibutuhkan di Aceh.
"Apalagi, untuk mencegah kelangkaan dan loncakan harga minyak goreng di Aceh," kata Irpannusir, Selasa, 22 Februari 2022.
Menurut Irpannusir, sudah seharusnya Aceh yang memiliki luas perkebunan sawit, memiliki pengolahan minyak goreng. Dengan demikian, Aceh tidak perlu memasok dari luar daerah lagi.
Pembangunan pabrik minyak goreng itu, selain dapat menangkal langka dan mahalnya minyak goreng di Aceh, juga dapat menambah pendapatan daerah. Tentunya, harga sawit di Aceh normal dan tidak menyengsarakan petani sawit.
Irpannusir berharap, ada investor-investor dari luar yang memang mau untuk berinvestasi di Aceh dalam membangun pabrik minyak goreng. Supaya nanti hasil panen petani kelapa sawit yang ada di Aceh tidak lagi di bawak keluar daerah lain.
"Intinya harus ada lokasi di mana saja yang strategis untuk pembangunan pabrik minyak goreng di Aceh," ujar dia.
Wakil Ketua Komisi III DPR Aceh H Zaenal Abidin, S. Si menyampaikan, provinsi Aceh dikenal sebagai daerah dengan perkebunan sawit cukup besar di Indonesia, tetapi hanya sebagai produsen bahan baku minyak mentah.
"Aceh memiliki sumber daya alam bahan baku cukup besar kelapa sawit, semestinya sudah ada terbangun industri minyak goreng kita di Aceh, tapi sampai saat ini belum ada," katanya.
Kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, sudah waktunya Aceh mandiri pangan, termasuk salah satunya mempersiapkan industri hilir menjadi bahan jadi dari potensi bahan baku yang tersedia yang diperkirakan lebih dari cukup.
Kata dia, Aceh sampai tahun 2022 ini hanya dilirik para investor bergerak di sektor pertambangan, pola ini harusnya di ubah karena secara perlahan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam akan berdampak pada lingkungan.
"Padang, Sumbar, itu pemda nya berani membangun industri minyak goreng dan di sana kondisi relatif stabil dari kondisi harga dan persediaan kebutuhan masyarakat. Kita di Aceh yang banyak hadir investor tambang, menguras sumber daya alam," tegasnya.
Hal ini kata Zainal, juga menjadi solusi untuk jangka panjang terkait dengan fluktuasi harga minyak goreng, saat ini di Aceh minyak goreng masih langka, harga eceran di pasar pun masih di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
Sebelumnya, Dewan Pembina Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Subulussalam, Damhuri, mengatakan pemeritah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh perlu melanjutkan pembangunan pabrik minyak goreng di daerah setempat. Karena keberadaan pabrik minyak goreng dapat menangkal kelangkaan dan mahalnya minyak goreng di Aceh.
"Jauh sebelum harga minyak goreng ini melonjak tajam. Pemerintah dan DPR Aceh harus melanjutkan pembangunan pabrik minyak goreng,” kata Damhuri, dalam keterangan tertulis.
Damhuri menyebutkan, pada 2011 silam, Pemerintah Kota Subulussalam telah menggagas pembangunan pabrik minyak goreng. Pada tahun 2012, pemerintah setempat membeli tanah untuk dibangun prabrik minyak goreng. Letaknya, di Gampong Teladan Baru, Kecamatan Runding, Subulussalam.
“Luas tanahnya lebih kurang 50.000 meter bujur sangkar (5 hektar). Tidak hanya itu, akses juga dibuka dengan dilakukan pembebasan jalan masuk ke lokasi, lebih kurang panjang 300 meter dengan lebar jalan 12 meter,” sebut Damhuri.
Detail engenering desain (DED) juga telah dirancang, kata dia, bahkan Pemerintah Kota Subulussalam juga telah membangun sarana pendukung berupa satu unit gedung serba guna di lokasi tersebut.
Dalam pembangunan pabrik minyak goreng, dibutuhkan anggaran cukup besar. Sehingga, kata Damhuri, Pemerintah Kota Subulussalam mengajak kerja sama pihak swasta dan perusahaan kepala sawit untuk membangun pabrik minyak goreng yang telah digagas.
Kesepakatan itu tertuang dalam Momorandum of Understanding (MoU). Di dalam kesepakatan itu disebutkan bahwa, kesediaan memasok 20 persen dari produksi minyak mentah sawit (calm palm oil/CPO) nya ke pabrik minyak goreng dengan harga pasar.
Menurut Damhuri, kesepakatan itu sangat mirip dengan kebijakan pemerintah pusat, yaitu domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO). Tujuannya, demi menstabilkan harga minyak goreng.
Sayangnya, kata Damhuri, pabrik minyak goreng itu tertunda akibat kekurangan biaya. Karena pembangunan pabrik minyak goreng, biayanya cukup besar.
Menurut Damhuri, gagasan mendirikan pabrik minyak goreng ketika itu didasari beberapa pertimbangan. Diantaranya, untuk mendukung program pemerintah meningkatkan kedaulatan pangan di Aceh, khususnya Subulussalam.
Lalu, kata dia, letak Subulusslam sangat strategis. Karena menjadi lintasan truk pengangkut CPO dari belahan barat dan selatan Aceh. Sehingga pasokan bahan baku diperkiraan cukup tersedia.
Selanjutnya, produksi pabrik minyak goreng mudah, efektif, efisien untuk di pasarkan. Minimal untuk memenuhi kebutuhan 10 kabupaten; Dairi, Pakpak Bharat, Subulussalam, Aceh Singkil, Simeulue, Tapanuli tengah, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Barat dan Aceh jaya. Bahkan juga untuk kebutuhan kabupaten lain di Aceh.
“Apkasindo Aceh sangat sepakat dengan gagasan lama ini untuk dapat diwujudkan. Dengan demikian, ketergantungan Aceh dari sisi pasokan minyak goreng dari Sumut dapat dikurangi,” ujar Damhuri.
Menurut Damhuri, pembangunan pabrik minyak goreng dapat menjawab keresahan masyarakat. Akibat mahal dan langkanya minyak goreng, Pemerintah kota Subulussalam dan Pemerintah Aceh perlu melanjutkan program tersebut untuk memenuhi hajat masyarakat.
“Apalagi, bagi Pemerintah Aceh untuk membiayai pembangunan minyak goreng tersebut tidak terlalu sulit. Mengingat begitu besarnya dana Otsus (otonomi khusus) dan lainnya,” ujar dia. [Adv]
Via
Adv